Bandarlampung, – Pusat Bantuan Hukum (PBH) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) secara resmi bertindak sebagai Penasihat Hukum dalam perkara dugaan tindak pidana penggunaan bom molotov yang terjadi pada saat aksi/unjuk rasa pada 1 November 2025.
Ketua PBH PERADI, Ali Akbar S.H., M.H., menyatakan bahwa penunjukan PBH PERADI sebagai Penasihat Hukum kasus Bom Molotov inisial FJ (23) merupakan bagian dari pelaksanaan hak konstitusional setiap orang untuk memperoleh bantuan hukum serta kewajiban advokat dalam menjamin perlindungan hak asasi manusia dan penegakan hukum yang berkeadilan.
“Perkara yang sedang berjalan harus ditempatkan sepenuhnya dalam kerangka hukum, bukan dalam penilaian opini publik atau penghakiman sosial,” tegas Ali Akbar.
Ketua DPC PERADI Bandar Lampung, Bey Sujarwo, S.H., M.H., menekankan bahwa penanganan perkara yang berkaitan dengan aksi penyampaian pendapat di muka umum harus dilakukan secara proporsional, objektif, dan akuntabel.
FJ dikenakan Pasal 187 bis ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 KUHP “Membahayakan Keamanan Umum bagi orang” dan penyertaan, dijatuhi pidana 3 (tiga) bulan 15 (lima belas) hari kurungan penjara, dan telah menjalani serta menyelesaikan masa pidananya, sehingga saat ini klien telah bebas secara hukum.
Pendampingan hukum yang diberikan oleh PBH PERADI Bandar Lampung dalam perkara ini menjadi bukti bahwa pendampingan hukum yang dijalankan secara profesional dan berlandaskan hukum dapat berbuah pada terpenuhinya hak-hak hukum klien secara adil dan proporsional.
PBH PERADI Bandar Lampung menegaskan bahwa hukum pada hakikatnya berfungsi sebagai instrumen pembatas hak dan kewajiban manusia, sehingga pemberian maupun pembatasan hak tidak boleh didasarkan pada kepentingan pribadi, tekanan opini publik, maupun pertimbangan di luar hukum, melainkan semata-mata harus berpijak pada supremasi hukum.
Pendampingan hukum terhadap FJ (23) dalam perkara ini dilakukan secara cuma-cuma (pro bono) sebagai bentuk komitmen PBH PERADI dalam memperluas akses keadilan dan memastikan bahwa setiap warga negara memperoleh perlindungan hukum yang setara, tanpa diskriminasi. (**)





